Dia
“Hayu, Nid! Yang lain sudah
kumpul,”
“Aku
kira kalian masih di sana,” aku duduk di jok belakang motornya.
“Sudah
siap?” ia membalikan kepalanya, ia melihat keadaanku.
“Sudah,”
tanganku melingkar ke pinggangnya.
Tak
ada reakasi apapun. Aku mengangapnya hanya seorang saudara. Hari ini gelap,
waktu menunjukan pukul 9 malam. Aku tak pulang ke rumah. Kami rapat seadannya.
Hanya ditemani lampu yang temaram. Tanganku berpangku ke pundak Kang Deddi dan
tangan kiriku berpangku ke pundakmu.
Lama
aku perhatikan apa yang dibicarakan Kang Deddi. Rasanya ini adalah sebuah
konsfirasi ini adalah sebuah konspirasi. Seperti yang terjadi pada aksi-aksi action lainnya. Kang Deddi memikirkan
konsepan untuk acara esok. Bagaimana agar menarik? Tidak bosan dan kami
mendapatkan kesan baik dimata mereka.
“Jadi,
gini kamu jangan kaku. Kamu seksi acara, kamu harus interaktif ...!” Kang Deddi
memandangku.
Aku
tahu, pertanyaan itu ditunjukan untukku. Secara tidak langsung aku mengerti
dengan apa yang diucapakannnya. Sementara tangan Kang Ahmad, mengambil
tanganku. Ia mengelus tanganku. Cukup lama. Rasanya aku menikmati suasana ini.
ini rasanya hal yang paling romantis yang pernah aku rasakan.
Apakah
ini efek dingin saja ia melakukan itu? atau memang dari hati?
Kamu
merangkul tanganku. Aku rasanya terhipnotis dengan adanya keadaan itu. aku
menikmati keadaan itu. ini kemesraan yang tidak aku dapatkan dari siapapun.
Kamu tetap jutek kepadaku, namun ini rasanya ini seperti perlakuan seorang
kekasih.
Kang
Deddi berdiri, aku dan dirinya ikut berdiri. Kami masih membuat konsepan acara
untuk keadaan esok. Ia, menggenggam tanganku sambil kita berjalan. Kami menuju
lapangan. Ini masih dalam lampu yang yang temaram dan dicahayai dengan
bintang-bintang dan bulan.
Rasanya
ini, ah .... aku dibawa ke alam dimana aku jatuh cinta lagi. Apakah benar aku
sudah tidak memikirkannya lagi? Ah, suasana ini membuat jiwaku pergi ke langit
ke tujuh melayang bersama rasa yang bernama jatuh cinta. Debaran jantungku
berdebar sangat kuat. Namun, mulutku terlalu keluh untuk berucap kepadanya,
“Apakah ini?”
Aku
menikmati keromantisan ini. Lama kami berkonsep, pukul 11 malam.
“Saya,
pulang dulu ya,”
“Loh,
kenapa pulang? nanggung kan?” tanyaku.
“Biasa
ada itu tuh,” itu tersipu.
Aku
tahu, itu karena ada Yayang.
Di
sini hanya ada kami, aku dan dia. Aku
masih menikmati keromantisan malam ini. Kami berjalan menuju saung. Tak ada
kata yang kami ucapkan. Apakah kami masih ragu dengan apa yang kami jalani
ataukah kami terlalu keluh untuk berucap?
Di
saung ini, kami sudah berada ada Hadi dan Dian yang mengikuti kami. Entah apa
yang pikirkan mereka terhadap kami.
“Harusnya
....” ucap Hadi kepadanya.
Lagi-lagi
diskusi dimulai. Tangann tetap memegangku, menggenggamku. Aku tahu ini rasanya
tak wajar jika untuk hubungan adik dan kakak.
Aku
bertingkah manja kepadanya. Aku menyenderkan kepalaku kepadanya. Ia tak
bergerak sedikit pun. Ia tak berkeberatan sedikit pun.
Aku
pernah mengingat dimana ia, A Risto berkata, “Kamu harus move on dariku.”
Inikah?
Dia yang membuatku move on? Jika ia,
jangan membuatku bingung. Itu saja. Satu hal yang ingin kukatakan. Hilangkan hati tentang dia, aku ingin itu.
Kamu
memegang jemariku, “jemarimu itu, jelek!”
“Kenapa?”
“Tak
bersuara ketika aku menariknya,”
“Itu
menurutku,”
“Itu
hanya pikiranmu saja,” aku mengambil nafas panjang. Kembali aku menyenderkan
kepalaku. Aku menghembuskan nafas panjangku. Mataku terlelap.
“Tidur?”
“Aku
mengantuk,”
“Tidurlah
dipundakku,”
Kamu
membuatku tenang. sulit untukku ucapkan rasa yang ada dihatiku saat ini.
berjuta warna, inikah rasanya jatuh cinta lagi?
Benarkan
ini cinta? Bila benar ini cinta, maka aku akan ucapakan, “Aku jatuh cinta
kepadamu”
Bolehkah
aku berucap, “bolehkah aku menjadi pacarmu?”
Sayang
kata-kata itu tak bisa aku keluarkan. Mulutku terlalu keluh. Seakan keadan ini
menghiptonisku untuk mengucapkan hal itu.
“Terimakasih
untuk malam ini,” dia membisikannya ke telingaku. Tangannya menggenggam
tanganku.
***Bersambung***