Friday 10 April 2015

Seperti Seharusnya

Dia

            “Hayu, Nid! Yang lain sudah kumpul,”
            “Aku kira kalian masih di sana,” aku duduk di jok belakang motornya.
            “Sudah siap?” ia membalikan kepalanya, ia melihat keadaanku.
            “Sudah,” tanganku melingkar ke pinggangnya.
            Tak ada reakasi apapun. Aku mengangapnya hanya seorang saudara. Hari ini gelap, waktu menunjukan pukul 9 malam. Aku tak pulang ke rumah. Kami rapat seadannya. Hanya ditemani lampu yang temaram. Tanganku berpangku ke pundak Kang Deddi dan tangan kiriku berpangku ke pundakmu.
            Lama aku perhatikan apa yang dibicarakan Kang Deddi. Rasanya ini adalah sebuah konsfirasi ini adalah sebuah konspirasi. Seperti yang terjadi pada aksi-aksi action lainnya. Kang Deddi memikirkan konsepan untuk acara esok. Bagaimana agar menarik? Tidak bosan dan kami mendapatkan kesan baik dimata mereka.
            “Jadi, gini kamu jangan kaku. Kamu seksi acara, kamu harus interaktif ...!” Kang Deddi memandangku.
            Aku tahu, pertanyaan itu ditunjukan untukku. Secara tidak langsung aku mengerti dengan apa yang diucapakannnya. Sementara tangan Kang Ahmad, mengambil tanganku. Ia mengelus tanganku. Cukup lama. Rasanya aku menikmati suasana ini. ini rasanya hal yang paling romantis yang pernah aku rasakan.
          Apakah ini efek dingin saja ia melakukan itu? atau memang dari hati?
         Kamu merangkul tanganku. Aku rasanya terhipnotis dengan adanya keadaan itu. aku menikmati keadaan itu. ini kemesraan yang tidak aku dapatkan dari siapapun. Kamu tetap jutek kepadaku, namun ini rasanya ini seperti perlakuan seorang kekasih.
            Kang Deddi berdiri, aku dan dirinya ikut berdiri. Kami masih membuat konsepan acara untuk keadaan esok. Ia, menggenggam tanganku sambil kita berjalan. Kami menuju lapangan. Ini masih dalam lampu yang yang temaram dan dicahayai dengan bintang-bintang dan bulan.
            Rasanya ini, ah .... aku dibawa ke alam dimana aku jatuh cinta lagi. Apakah benar aku sudah tidak memikirkannya lagi? Ah, suasana ini membuat jiwaku pergi ke langit ke tujuh melayang bersama rasa yang bernama jatuh cinta. Debaran jantungku berdebar sangat kuat. Namun, mulutku terlalu keluh untuk berucap kepadanya, “Apakah ini?”
            Aku menikmati keromantisan ini. Lama kami berkonsep, pukul 11 malam.
            “Saya, pulang dulu ya,”
            “Loh, kenapa pulang? nanggung kan?” tanyaku.      
            “Biasa ada itu tuh,” itu tersipu.
            Aku tahu, itu karena ada Yayang.
          Di sini hanya ada kami,  aku dan dia. Aku masih menikmati keromantisan malam ini. Kami berjalan menuju saung. Tak ada kata yang kami ucapkan. Apakah kami masih ragu dengan apa yang kami jalani ataukah kami terlalu keluh untuk berucap?
          Di saung ini, kami sudah berada ada Hadi dan Dian yang mengikuti kami. Entah apa yang pikirkan mereka terhadap kami.
            “Harusnya ....” ucap Hadi kepadanya.
          Lagi-lagi diskusi dimulai. Tangann tetap memegangku, menggenggamku. Aku tahu ini rasanya tak wajar jika untuk hubungan adik dan kakak.
         Aku bertingkah manja kepadanya. Aku menyenderkan kepalaku kepadanya. Ia tak bergerak sedikit pun. Ia tak berkeberatan sedikit pun.
            Aku pernah mengingat dimana ia, A Risto berkata, “Kamu harus move on dariku.”
            Inikah? Dia yang membuatku move on? Jika ia, jangan membuatku bingung. Itu saja. Satu hal yang ingin kukatakan.  Hilangkan hati tentang dia, aku ingin itu.
            Kamu memegang jemariku, “jemarimu itu, jelek!”
            “Kenapa?”
            “Tak bersuara ketika aku menariknya,”
            “Itu menurutku,”
       “Itu hanya pikiranmu saja,” aku mengambil nafas panjang. Kembali aku menyenderkan kepalaku. Aku menghembuskan nafas panjangku. Mataku terlelap.
            “Tidur?”
            “Aku mengantuk,”
            “Tidurlah dipundakku,”
           Kamu membuatku tenang. sulit untukku ucapkan rasa yang ada dihatiku saat ini. berjuta warna, inikah rasanya jatuh cinta lagi?
         Benarkan ini cinta? Bila benar ini cinta, maka aku akan ucapakan, “Aku jatuh cinta kepadamu”
         Bolehkah aku berucap, “bolehkah aku menjadi pacarmu?”   
    Sayang kata-kata itu tak bisa aku keluarkan. Mulutku terlalu keluh. Seakan keadan ini menghiptonisku untuk mengucapkan hal itu.
       “Terimakasih untuk malam ini,” dia membisikannya ke telingaku. Tangannya menggenggam tanganku.

***Bersambung***

No comments:

Post a Comment