Tulisan yang Pernah dimuat

Tulisan ini pernah dimuat di potret edisi bulan februari 2014

Antara Seks dan Cinta
Nurdiani Latifah

            Banyak bagi manusia yang masih mendewakan cinta saat ini. Ada yang masih ingat dengan rekayasa cinta dari Deni Malik dan Kamelia Malik?
            “Kalau cinta sudah direkayasa. Banyak bocah disulapnya dewasa. Rindu sungguhan, rindu buatan susah di bedakan,”
            Atau juga karena cinta kita menjadi buta? Terkadang yang terjadi hari ini, para wanita rela melakukan hubungan seks atas nama cinta. Artinya dalam cinta mengandung istitilah seksuliatas dengan secara umum yang memiliki makna yang luas.  Termasuk hasrat erotis, praktik dan identitas erotis.  Bukan hanya terbatas dalam sex act, tetapi mencakup juga perasaan. Sehingga dapat dikategorikan dalam seksual yaitu: biologis, sosial, dan subjektif.
            Cinta yang hadir hadir hari ini sebenarnya sudah memperbudak wanita. Artinya perempuan memilih menghasratkan perbudakan dimana bagi perempuan sebagai ekspresi dari kebebasan dirinya. Perempuan menyakini bahwa pria akan mencintainya dengan cara yang sama atau timbal balik.
            Pada kalangan perguruan tinggi sekali, mahasiswi sudah tidak perawan karena ulah mahasiswa yang inisiatif. Tetapi, hal ini malah menjadi mahasiswi yang diobok-obok, sementara para mahasiswa dengan dalih suka sama suka. Tentu saja hal ini moralnya diragukan, tidak diteliti sejauh mana mereka bertanggung jawab.
            Dari paparan sebelumnya, seksualitas dapat diartikan sebagai hasrat, praktis dan identitas erotis. Dalam hal ini ditarik bahwa seks laki-laki dirumuskan sebagai sesuatu yang secara alamiah dan tidak ada beresnya. Sehingga hal ini yang mendorong laki-laki untuk menjadikan mereka berkuasa. Bukan hanya itu, lelaki sering kali dengan ekspresi kreatifitasnya sehingga dapat dikatakan penciptaan budaya. Hal inilah yang mengkrontruksi bahwa pria adalah makhluk yang bersama dengan pikiran dan budaya.
            Seks dalam wanita biasanya dimitoskan sebagai sebagai seks yang pasif. Dimana perempuan tak lebih dari sebuah objek dari hasrat lelaki. Bukan hanya itu, tubuh perempuan dipandang sebagai sentral dalam peran refroduksi biologis spesies. Hal ini lebih dekat dengan alam, sehingga perempuan lebih dikatakan sebagai tubuh dan alam.
            Pada akhirnya wanita dijadikan sebagai produk imajinasi dari laki-laki. Pada masyarakat sendiri pun perempuan tidak lagi dibebaskan dari kebutuhan laki-laki. nafasu seksual dan hasrat untuk melanjutkan keturunan. Sehingga laki-laki bergantung pada kepuasan yang didapatinya dari perempuan.
            Bahkan menurut Beauvoirm gagasan mengenai feminisme adalah mitos yang deskrukti dan hal ini harus dimusnahkan. Seperti mitos rasis dan anti-Semit terhadap orang kulit hitan dan Yahudi.
            Sementara arti dari gender itu sendiri adalah digunakan untuk menunjukan semua aspek pembedaan sosial dan kultural antara laki-laki dan perempuan.  Menekankan pembentukan sosial menyangkut feminisme-maskulititas dan pemahaman bahwa tubuh yang diseksualkan sendiri adalah socialy constructed.
            Banyak yang bilang, kebutuhan wanita terhadap pria ataupun sebaliknya yang menyatakan bahwa “saling melengkapi” ini ternyata hasil dari kontruksi sosial budaya yang mendukung bias ideologi heteroseksual. Dalam hal ini genderlah yang menyatakan adanya perbedaan kontruksi antara wanita dan pria.
            Yang akhirnya seksualitas adalah sebuah fenomena sosial yang sangat dipengaruhi dengan faktor gender. Sehingga dalam kasus perkawinan, gender dan seksualitas sangat bersinggungan. Sehingga menurut Jackson yang dinyatakan oleh Munti dibagi menjadi tiga. Yaitu:
1.      Seksualitas pada kontruksi patriarkal, mengupas relasi kuasa khususnya dominasi laki-laki
2.      Konsentrasi konstruksi dari hasrat seksual pada tahap subjektifitas individu
3.      Menampilkan variabilitas tentang hasrat seksualitas manusia.
            Ada satu kasus dalam pernikahan.  Misalkan, wanita yang sudah menikah dan melakukan hubungan seks untuk pertama kalinya jika vagina wanita tidak mengeluarkan darah, maka perempuan tersebut akan disebut sudah tidak perawan lagi. Bahkan, sampai menempuh perceraian hanya karena persoalan ini.
            Ketika hubungan seksualitas di lembagakan, justru kepentingan pemuasan hasrat individu disubordinasikan kepada kepentingan masyarakat. Sejak itu pula, seksualitas perempuan diartikan sebagai pelayanan seksualitas laki-laki yang diwajibkan.  Bahkan peran wanita dan pria yang dibangun dimasyarakat, wanita (istri) diberi peran domestik sebagai ibu rumah tangga dan pria (suami) diberi tugas sebagai kepala rumah tangga.
            Dengan adanya persoalan keperawanan ini, menurut kaum feminis hal ini dipandang ingin mengembalikan perempuan pada ruang-ruang dometifikasi perempuan, yaitu hanya berkutat pada permasalahan 3M : memasak, melahirkan, dan merias diri. Selain itu juga, dianggap sebagai pembunuhan terhadap pengembangan potensi bagi perempuan.
            Bahkan kaum lelaki bisa berlindung atas nama agama bisa menikahi wanita yang tidak lebih dari empat wanita. Padahal hal ini, sama saja mensuboordinasikan wanita. Perkawinan dianggap melegalkan hasrat-hasrat seksual dari laki-laki.
            Sebenarnya isu keperawanan ini dipandang sebagai permasalahan privat. Lalu kenapa harus menjadi permasalahan publik? Jika ada permasalahan tentang seks dan pergaulan bebas, hal ini seharusnya tidak didekatkan melalui aspek yang sangat privat.
            Dalam ilmu kedokteran, kata perawan atau tidak perawan ini tidak ada. Yang ada hanyalah selaput dara yang terdapat pada vagina perempuan elastis atau tidak dan tebal atau tidak. selaput dara ini adalah lapisan atau selaput tupis yang ada ada jalan masuk vagina. Tetapi, pada perempuan, tidak semua perempuan terlahir memiliki selaput dara. Hal ini karena pada dasarnya manusia dilahirkan pada kondisi fisik yang berbeda-beda.
            Ada beberapa kondisi dimana perempuan yang memiliki selaput darah yang tipis dan mudah robek ini akan hilang, yaitu  pada aktivitas seperti berenang, naik sepeda atau sekalipun memanjat. Sehingga jauh sebelum menikah selaput dara ini sudah tidak utuh. Jika yang dibutuhkan hanya selaput dara yang bisa mengeluarkan darah, siapa saja bisa menjalani operasi keperawanan. Sehingga perempuan bisa kembali menjadi perawan.

            Jadi, bisa ditarik kesimpulan bahwa keperawanan hanyalah sebuah mitos dan konstruksi sosial yang diciptakan untuk mengontrol selsualitas perempuan. 

No comments:

Post a Comment